Manusia adalah makhluk yang
berpikir, begitulah kata orang sejarah hingga akhirnya manusia disebut sebagai
homo sapiens dan kemampuan berpikir itulah yang membedakan manusia dari makhluk
lainnya. Sebagai makhluk yang berpikir artinya dalam hidup manusia selalu
dipenuhi dengan proses pembelajaran. Belajar jangan hanya dibayangkan dengan
membaca buku saja namun lebih dari itu. Semua hal di alam ini bisa menjadi
objek belajar bagi kita. Mulai dari mikroba yang tak terlihat karena saking
kecilnya sampai tata surya yang begitu luasnya itu. Dan kini aku mencoba untuk
selalu menjadikan semua hal yang ada di hadapku sebagai objek belajar. (Aku
rasa cukup prolog yang ga beresensi ini)
Hujan, kasihan sekali
dirimu banyak orang yang menghujatmu ketika kau datang pada saat yang tidak
tepat. Orang akan mengeluh karenamu, bahkan kebanyakan dari mereka mengalami
masalah dengan kehadiranmu. Banyak orang tak menginginkanmu, namun tidak bagi
mereka. Ya, mereka yang selalu menyambutmu dengan suka cita. Mereka yang tak
pernah bosan bercengkrama dengan dinginnya dirimu. Mereka yang selalu sedih jika
kau tak kunjung datang. Mereka adalah anak – anak pembawa payung yang sering
orang sebut “ojek payung”. Aku belajar untuk tidak menghujat kehadiranmu wahai
hujan karena kau ternyata mampu membawa berkah bagi mereka, membawa rezeki bagi
mereka, membawa keceriaan bagi mereka, mengubah bibir yang telah lama datar
menjadi berkelok karena senyuman. Mereka --anak-anak ojek payung--membuatku
mengubah pikiranku tentangmu hujan. Anak-anak kecil yang sudah belajar mencari
uang dengan caranya mereka, di saat anak-anak kecil lainnya hanya bisa merengek
ketika meminta mainan baru. Senyummu begitu sumringah, meski banyak orang
enggan menggunakan jasamu. Kau tetap sabar dan membalasnya dengan senyum
kecilmu, meski terkadang pelanggan barumu mengerutkan kening tanda ketidakramahan.
Begitulah cerita anak-anak “ojek payung” di kala hujan deras mengguyur.
Hujan, kata seorang teman
dekat bahwa tak ada doa yang tertolak ketika kau ada. Benarkah itu? Dan aku
manfaatkan moment kehadiranmu ini untuk berdoa agar kelak mereka bukanlah
seorang tukang ojek payung yang hanya melindungi dan menjaga satu orang
penumpang, namun bisa memayungi puluhan orang lewat keberhasilannya, menjadi
seorang rektor yang memayungi kampus atau bahkan presiden yang memayungi
negara. Dunia pasti berputar teman kecil pembawa payung.
“Korannya kak” begitulah kata seorang anak kecil berumur 10 tahun
padaku saat duduk di bis kampus. Mereka adalah penjual koran di kampusku.
Anak-anak yang membawa tumpukan koran sepulang sekolah. Malah terkadang dari
mereka lupa berganti pakaian saat berjualan. Anak sekecil itu dengan cekatan
dan lihainya menawarkan koran kepada mahasiswa-mahasiswa di kampusku. Aku
belajar semangat dari mereka. Mungkin jika suatu saat aku lupa bagaimana
caranya untuk semangat, aku cukup melihat mereka yang tak pernah letih berjalan
mengelilingi kampus hanya demi menghabiskan koran-koran itu. Aku ingin
mengikuti langkah kaki mereka, agar aku tahu semua yang dia lakukan mulai dari
sekolah sampai ia kembali ke rumah untuk beristirahat. Tak pernah terlihat
gurat kelelahan di kening mereka. Dalam hati aku berkata “Kalian mungkin hanya
seorang loper koran di kampus ini, tapi suatu saat kalian pasti bisa menjadi
mahasiswa di kampus ini”. Tetaplah tersenyum wahai anak “loper koran”, teruslah
sekolah karena pendidikanmulah yang akan mengubahmu. ^_^
Mahasiswa, begitulah sebutan kami. Hanya 2% penduduk Indonesia
yang mampu seperti kami. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berduit yang
bisa melakukan apa saja dengan duit. Gelar S3 mungkin bisa sangat mudah mereka
enyam, karena mereka punya duit. Seperti sudah menjadi fenomena umum bahwa
hanya orang-orang berduitlah yang bisa menjadi mahasiswa. Namun tidak demikian
yang terjadi di kampusku ini. Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa baru, aku
kira kampusku sama seperti sebagian kampus lain yang berisi orang-orang berduit
yang menjadikan kuliah sebagai gengsi dan sarana “bermain”. Di sini ternyata
banyak juga orang-orang yang hanya bermodalkan nekad bisa menjadi mahasiswa.
Mereka yang hanya bermodalkan semangat dan ridlo orangtua berangkat dari daerah
nan jauh hanya demi menjadi mahasiswa.
Ini adalah kisah seorang
teman yang aku bilang dia sangat “priatin” . Sebut saja namanya mawar (bukan
nama sesungguhnya). Seorang teman yang sanggup berkuliah 24 sks hanya dalam waktu
3 hari. Bayangkan betapa lelahnya tubuh ini jika setiap harinya harus duduk di
bangku kuliah dan ruangan ber-AC sambil mendengarkan apa yang dosen ajarkan.
Sangat lelah aku yakin sangat lelah. Aku saja tak yakin akan bisa melakukannya.
Tapi inilah temanku yang sangat luar biasa. Bahkan dia harus mengikuti 5 mata
kuliah dalam satu hari. Sepertinya otak tengah melakukan kerja rodi. Tahukah
kalian mengapa dia melakukannya? Bukan karena malas, bukan juga karena ingin
pulang kampung setiap minggunya, tapi karena dia harus bekerja untuk membiayai
kehidupannya di sini. Luar biasa!!! Bahkan dia rela melepas jubah
kemahasiswaannya demi menjadi pelayan food court di sebuah mall di kota
perjuangan ini. Dia bisa bekerja sampai larut malam, dan esok harinya masih harus
berangkat pagi-pagi ke kampus untuk melanjutkan tugas utamanya yaitu kuliah.
Darinya aku belajar bahwa satu detik waktu itu sangatlah berarti. Jadi, ketika
aku mulai membuang-buang waktu dengan merenung, melamun, atau hanya sekedar
bersenang-senang yang tidak ada gunanya aku harus kembali mengingat teman luar
biasaku itu agar aku kembali tersadar dari lamunan. Aku belajar untuk lebih
menghargai waktu, aku belajar untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Kita bisa memiliki jumlah waktu yang sama, tapi kebijaksanaan kita dalam
menggunakannyalah yang membedakan.
Begitulah pelajaran moral hari ini. Begitulah Depok dengan segala
hiruk-pikuknya yang mengajariku kehidupan. Ketika kita mau berpikir begitu
banyak hal yang bisa kita pelajari dari sekeliling kita.
Depok, 23 Oktober 2010