Kamis, 11 November 2010

Terimakasih Telah Mengajariku


Manusia adalah makhluk yang berpikir, begitulah kata orang sejarah hingga akhirnya manusia disebut sebagai homo sapiens dan kemampuan berpikir itulah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Sebagai makhluk yang berpikir artinya dalam hidup manusia selalu dipenuhi dengan proses pembelajaran. Belajar jangan hanya dibayangkan dengan membaca buku saja namun lebih dari itu. Semua hal di alam ini bisa menjadi objek belajar bagi kita. Mulai dari mikroba yang tak terlihat karena saking kecilnya sampai tata surya yang begitu luasnya itu. Dan kini aku mencoba untuk selalu menjadikan semua hal yang ada di hadapku sebagai objek belajar. (Aku rasa cukup prolog yang ga beresensi ini)
Hujan, kasihan sekali dirimu banyak orang yang menghujatmu ketika kau datang pada saat yang tidak tepat. Orang akan mengeluh karenamu, bahkan kebanyakan dari mereka mengalami masalah dengan kehadiranmu. Banyak orang tak menginginkanmu, namun tidak bagi mereka. Ya, mereka yang selalu menyambutmu dengan suka cita. Mereka yang tak pernah bosan bercengkrama dengan dinginnya dirimu. Mereka yang selalu sedih jika kau tak kunjung datang. Mereka adalah anak – anak pembawa payung yang sering orang sebut “ojek payung”. Aku belajar untuk tidak menghujat kehadiranmu wahai hujan karena kau ternyata mampu membawa berkah bagi mereka, membawa rezeki bagi mereka, membawa keceriaan bagi mereka, mengubah bibir yang telah lama datar menjadi berkelok karena senyuman. Mereka --anak-anak ojek payung--membuatku mengubah pikiranku tentangmu hujan. Anak-anak kecil yang sudah belajar mencari uang dengan caranya mereka, di saat anak-anak kecil lainnya hanya bisa merengek ketika meminta mainan baru. Senyummu begitu sumringah, meski banyak orang enggan menggunakan jasamu. Kau tetap sabar dan membalasnya dengan senyum kecilmu, meski terkadang pelanggan barumu mengerutkan kening tanda ketidakramahan. Begitulah cerita anak-anak “ojek payung” di kala hujan deras mengguyur.
Hujan, kata seorang teman dekat bahwa tak ada doa yang tertolak ketika kau ada. Benarkah itu? Dan aku manfaatkan moment kehadiranmu ini untuk berdoa agar kelak mereka bukanlah seorang tukang ojek payung yang hanya melindungi dan menjaga satu orang penumpang, namun bisa memayungi puluhan orang lewat keberhasilannya, menjadi seorang rektor yang memayungi kampus atau bahkan presiden yang memayungi negara. Dunia pasti berputar teman kecil pembawa payung.
“Korannya kak” begitulah kata seorang anak kecil berumur 10 tahun padaku saat duduk di bis kampus. Mereka adalah penjual koran di kampusku. Anak-anak yang membawa tumpukan koran sepulang sekolah. Malah terkadang dari mereka lupa berganti pakaian saat berjualan. Anak sekecil itu dengan cekatan dan lihainya menawarkan koran kepada mahasiswa-mahasiswa di kampusku. Aku belajar semangat dari mereka. Mungkin jika suatu saat aku lupa bagaimana caranya untuk semangat, aku cukup melihat mereka yang tak pernah letih berjalan mengelilingi kampus hanya demi menghabiskan koran-koran itu. Aku ingin mengikuti langkah kaki mereka, agar aku tahu semua yang dia lakukan mulai dari sekolah sampai ia kembali ke rumah untuk beristirahat. Tak pernah terlihat gurat kelelahan di kening mereka. Dalam hati aku berkata “Kalian mungkin hanya seorang loper koran di kampus ini, tapi suatu saat kalian pasti bisa menjadi mahasiswa di kampus ini”. Tetaplah tersenyum wahai anak “loper koran”, teruslah sekolah karena pendidikanmulah yang akan mengubahmu. ^_^
Mahasiswa, begitulah sebutan kami. Hanya 2% penduduk Indonesia yang mampu seperti kami. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berduit yang bisa melakukan apa saja dengan duit. Gelar S3 mungkin bisa sangat mudah mereka enyam, karena mereka punya duit. Seperti sudah menjadi fenomena umum bahwa hanya orang-orang berduitlah yang bisa menjadi mahasiswa. Namun tidak demikian yang terjadi di kampusku ini. Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa baru, aku kira kampusku sama seperti sebagian kampus lain yang berisi orang-orang berduit yang menjadikan kuliah sebagai gengsi dan sarana “bermain”. Di sini ternyata banyak juga orang-orang yang hanya bermodalkan nekad bisa menjadi mahasiswa. Mereka yang hanya bermodalkan semangat dan ridlo orangtua berangkat dari daerah nan jauh hanya demi menjadi mahasiswa.
Ini adalah kisah seorang teman yang aku bilang dia sangat “priatin” . Sebut saja namanya mawar (bukan nama sesungguhnya). Seorang teman yang sanggup berkuliah 24 sks hanya dalam waktu 3 hari. Bayangkan betapa lelahnya tubuh ini jika setiap harinya harus duduk di bangku kuliah dan ruangan ber-AC sambil mendengarkan apa yang dosen ajarkan. Sangat lelah aku yakin sangat lelah. Aku saja tak yakin akan bisa melakukannya. Tapi inilah temanku yang sangat luar biasa. Bahkan dia harus mengikuti 5 mata kuliah dalam satu hari. Sepertinya otak tengah melakukan kerja rodi. Tahukah kalian mengapa dia melakukannya? Bukan karena malas, bukan juga karena ingin pulang kampung setiap minggunya, tapi karena dia harus bekerja untuk membiayai kehidupannya di sini. Luar biasa!!! Bahkan dia rela melepas jubah kemahasiswaannya demi menjadi pelayan food court di sebuah mall di kota perjuangan ini. Dia bisa bekerja sampai larut malam, dan esok harinya masih harus berangkat pagi-pagi ke kampus untuk melanjutkan tugas utamanya yaitu kuliah. Darinya aku belajar bahwa satu detik waktu itu sangatlah berarti. Jadi, ketika aku mulai membuang-buang waktu dengan merenung, melamun, atau hanya sekedar bersenang-senang yang tidak ada gunanya aku harus kembali mengingat teman luar biasaku itu agar aku kembali tersadar dari lamunan. Aku belajar untuk lebih menghargai waktu, aku belajar untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Kita bisa memiliki jumlah waktu yang sama, tapi kebijaksanaan kita dalam menggunakannyalah yang membedakan.
Begitulah pelajaran moral hari ini. Begitulah Depok dengan segala hiruk-pikuknya yang mengajariku kehidupan. Ketika kita mau berpikir begitu banyak hal yang bisa kita pelajari dari sekeliling kita.

Depok, 23 Oktober 2010