Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai.
Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.
Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
"Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu
dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.
Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne (seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya sebagai "bidan" yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang adalah seorang bidan.
Minggu, 14 Februari 2010
KETIKA MANUSIA HIDUP LAYAKNYA AMPHIBI
08 JANUARI 2010
Amphibi dalam dunia ilmu pengetahuan tidak lain adalah hewan yang mampu hidup pada dua dunia yaitu air dan darat. Katak contohnya. Manusia sebagai hewan yang berakal ternyata tak jauh berbeda dari seekor katak. Ya, manusia manusia ketika bermetamorfosis menjadi hewan amphibi. Amphibi di sini bukanlah berarti mampu hidup pada dua dunia yaitu air dan darat, melainkan dunia mimpi dan nyata.
Ketika manusia berada dalam dunia nyata, mereka benar-benar menjadi sesosok manusia dengan Tuhan sebagai penguasa dan pengatur segala kehidupan di bumi. Manusia dihadapkan pada persoalan hidup seperti pemenuhan kebutuhan pangan, papan, sandang, pendidikan, seksual, agama dan lain sebagainya. Mereka akan melakukan apapun untuk mencapai hidup yang terbaik, namun semua kembali pada Tuhan sebagai Sang Penguasa yang Maha Berkehendak. Cita dan harapan hidup sesuatu hal yang membuat mereka ingin hidup selamanya di dunia ini sebelum cita hidup itu tercapai. Seolah mereka telah berubah menjadi sosok pejuang untuk hari ini dan hari esok.
Lain halnya saat manusia hidup pada dunia mimpi. Mereka berperan seolah-olah menjadi Tuhan yang maha Berkehendak mengatur semua kehidupan. Kehidupan berjalan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam dunia mimpi manusia juga memiliki cita dan harapan hidup, namun semua itu lebih tepat disebut sebagai mimpi. Ya, hanyalah mimpi karena saat manusia hidup di dunia mimpi, mereka seolah menjadi seorang pecundang yang hanya mampu bermimpi tapi tidak bisa mewujudkan mimpi itu. Mimpi-mimpi itu seperti fatamorgana yang tampak dari kejauhan seolah-olah ada, namun dari dekat semua hanyalah kosong.
Amphibi dalam dunia ilmu pengetahuan tidak lain adalah hewan yang mampu hidup pada dua dunia yaitu air dan darat. Katak contohnya. Manusia sebagai hewan yang berakal ternyata tak jauh berbeda dari seekor katak. Ya, manusia manusia ketika bermetamorfosis menjadi hewan amphibi. Amphibi di sini bukanlah berarti mampu hidup pada dua dunia yaitu air dan darat, melainkan dunia mimpi dan nyata.
Ketika manusia berada dalam dunia nyata, mereka benar-benar menjadi sesosok manusia dengan Tuhan sebagai penguasa dan pengatur segala kehidupan di bumi. Manusia dihadapkan pada persoalan hidup seperti pemenuhan kebutuhan pangan, papan, sandang, pendidikan, seksual, agama dan lain sebagainya. Mereka akan melakukan apapun untuk mencapai hidup yang terbaik, namun semua kembali pada Tuhan sebagai Sang Penguasa yang Maha Berkehendak. Cita dan harapan hidup sesuatu hal yang membuat mereka ingin hidup selamanya di dunia ini sebelum cita hidup itu tercapai. Seolah mereka telah berubah menjadi sosok pejuang untuk hari ini dan hari esok.
Lain halnya saat manusia hidup pada dunia mimpi. Mereka berperan seolah-olah menjadi Tuhan yang maha Berkehendak mengatur semua kehidupan. Kehidupan berjalan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam dunia mimpi manusia juga memiliki cita dan harapan hidup, namun semua itu lebih tepat disebut sebagai mimpi. Ya, hanyalah mimpi karena saat manusia hidup di dunia mimpi, mereka seolah menjadi seorang pecundang yang hanya mampu bermimpi tapi tidak bisa mewujudkan mimpi itu. Mimpi-mimpi itu seperti fatamorgana yang tampak dari kejauhan seolah-olah ada, namun dari dekat semua hanyalah kosong.
Sabtu, 13 Februari 2010
APAKAH BAKAT BISA DIPELAJARI??
Apakah Bakat Bisa dipelajari??
(Sunday, 13 Februari 2010)
Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai macam perbedaan. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang diciptakan dengan keadaan sama persis, sekalipun mereka itu kembar. Selalu ada perbedaan dalam diri manusia baik dilihat dari bentuk fisik maupun dari batin manusia. Bakat adalah salah satu yang diciptakan Tuhan dengan berbagai perbedaan.
Bakat, apa itu bakat? Tidak lain adalah metamorfosis dari dari sebuah kelebihan yang membuat seseorang mampu atau tidak mampu melakukan suatu aktivitas dan tugas secara mudah atau sulit dan sukses atau tidak sukses. Semua manusia pasti diciptakan dengan kelebihan masing-masing. Berkembang atau tidaknya kelebihan itu bergantung pada keadaan dalam diri seseorang dan didukung oleh keinginan yang kuat untuk mengembangkan atau tidak mengembangkannya. Kelebihan yang berkembang itulah yang nantinya akan terkristalisasi menjadi sebuah bakat. Berbicara mengenai bakat tentunya tidak terlepas dari kecerdasan. Menurut Howard Gardner, seorang profesor psikologi di Harvard University yang telah mengembangkan penelitiannya selama lima belas tahun mengemukakan adanya tujuh macam kecerdasan, yakni : kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, dan kecerdasan intrapribadi.
Banyak orang beranggapan bahwa bakat adalah bawaan dari lahir. Lalu muncul pertanyaaan, apakah manusia dapat mengubah pemberian Tuhan yang bernama bakat? Sebuah pertanyaan yang menimbulkan polemik. Sedikit menyinggung ke pelajaran agama yang pernah saya dapatkan sewaktu SMA tentang takdir. Ada tiga hal dalam hidup ini yang tidak akan pernah bisa diubah oleh manusia yaitu jodoh, rezeki dan usia atau kematian. Tuhan telah menciptakan manusia dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran itulah manusia diberikan kebebasan untuk mengembangkan segala yang ada di bumi (kecuali tiga hal tadi), untuk mengubah dan memperbaiki pemberian Tuhan. Termasuk menggali potensi dan kelebihan dalam diri kita.
Lalu, bisakah bakat kita ubah atau pelajari?? Tentu saja bisa. Seperti pendapat saya tentang bakat, bahwa bakat adalah metamorfosis dari sebuah kelebihan. Kelebihan akan muncul atau tidak muncul tergantung pada diri kita. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana cara kita mengembangkan atau bahkan memunculkan bakat baru dalam diri kita? Ketekunan, itulah jawabannya. Ketekunan berawal dari kegemaran atau kesukaan. Jadi, yang harus kita lakukan pertama kali adalah membuat diri kita suka pada hal yang akan kita kembangkan. Setelah kita suka, barulah kita akan menumbuhkan ketekunan dalam berlatih. Seseorang yang dalam dirinya sudah mempunyai bakat tetapi tidak pernah berlatih niscaya bakat itu akan hilang. Orang yang berbakat bisa dianalogikan seperti orang yang memang terlanjur dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, dengan sedikit usaha mereka akan tetap kaya. Namun, apakah orang yang dilahirkan dari keluarga miskin tidak bisa menjadi orang kaya? Bakat itu seperti uang sebagai modal usaha. Seseorang yang mempunyai modal besar biasanya akan berkembang lebih pesat. Namun, apakah mereka yang bermodal sedikit tidak mampu berkembang? Semua bisa dilakukan dengan ketekunan dan keyakinan. Jangan khawatir bagi Anda yang saat ini belum mengetahui bakat Anda, karena bakat itu bisa dipelajari.
Sedikit terinspirasi dari kata-kata teman saya, yang saya anggap itu benar bahwa kita tidak perlu memusingkan diri dengan “Apa sebenarnya bakat yang kita miliki?” Untuk menciptakan bakat kita harus mengesampingkan pikiran itu. Tanamkan dalam pikiran kita bahwa bakat itu bukan masalah mampu atau tidak mampu, melainkan MAU atau TIDAK MAU. Yang harus kita lakukan untuk menciptakan bakat adalah menumbuhkan kemauan kita untuk bisa. Kemauan itu bagaikan bensin dalam kendaraan bermotor yang menjadi sumber penting untuk bisa menggerakkannya, sedangkan kelebihan dalam diri kita bagaikan mesin kendaraan itu sendiri yang memang sudah diciptakan “satu paket” dengan kendaraan itu. Sebagus, secanggih apapun mesinnya dan semahal apapun mobil itu tidak akan bisa digunakan tanpa adanya bensin. Tumbuhkan kemauan Anda untuk mendalami suatu hal dan asah terus kelebihan Anda untuk menemukan bakat Anda !!! Kita tidak bisa mengatur arah angin, namun kita masih bisa menggerakkan layarnya. SEMANGAT!!!!
(Sunday, 13 Februari 2010)
Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai macam perbedaan. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang diciptakan dengan keadaan sama persis, sekalipun mereka itu kembar. Selalu ada perbedaan dalam diri manusia baik dilihat dari bentuk fisik maupun dari batin manusia. Bakat adalah salah satu yang diciptakan Tuhan dengan berbagai perbedaan.
Bakat, apa itu bakat? Tidak lain adalah metamorfosis dari dari sebuah kelebihan yang membuat seseorang mampu atau tidak mampu melakukan suatu aktivitas dan tugas secara mudah atau sulit dan sukses atau tidak sukses. Semua manusia pasti diciptakan dengan kelebihan masing-masing. Berkembang atau tidaknya kelebihan itu bergantung pada keadaan dalam diri seseorang dan didukung oleh keinginan yang kuat untuk mengembangkan atau tidak mengembangkannya. Kelebihan yang berkembang itulah yang nantinya akan terkristalisasi menjadi sebuah bakat. Berbicara mengenai bakat tentunya tidak terlepas dari kecerdasan. Menurut Howard Gardner, seorang profesor psikologi di Harvard University yang telah mengembangkan penelitiannya selama lima belas tahun mengemukakan adanya tujuh macam kecerdasan, yakni : kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, dan kecerdasan intrapribadi.
Banyak orang beranggapan bahwa bakat adalah bawaan dari lahir. Lalu muncul pertanyaaan, apakah manusia dapat mengubah pemberian Tuhan yang bernama bakat? Sebuah pertanyaan yang menimbulkan polemik. Sedikit menyinggung ke pelajaran agama yang pernah saya dapatkan sewaktu SMA tentang takdir. Ada tiga hal dalam hidup ini yang tidak akan pernah bisa diubah oleh manusia yaitu jodoh, rezeki dan usia atau kematian. Tuhan telah menciptakan manusia dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran itulah manusia diberikan kebebasan untuk mengembangkan segala yang ada di bumi (kecuali tiga hal tadi), untuk mengubah dan memperbaiki pemberian Tuhan. Termasuk menggali potensi dan kelebihan dalam diri kita.
Lalu, bisakah bakat kita ubah atau pelajari?? Tentu saja bisa. Seperti pendapat saya tentang bakat, bahwa bakat adalah metamorfosis dari sebuah kelebihan. Kelebihan akan muncul atau tidak muncul tergantung pada diri kita. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana cara kita mengembangkan atau bahkan memunculkan bakat baru dalam diri kita? Ketekunan, itulah jawabannya. Ketekunan berawal dari kegemaran atau kesukaan. Jadi, yang harus kita lakukan pertama kali adalah membuat diri kita suka pada hal yang akan kita kembangkan. Setelah kita suka, barulah kita akan menumbuhkan ketekunan dalam berlatih. Seseorang yang dalam dirinya sudah mempunyai bakat tetapi tidak pernah berlatih niscaya bakat itu akan hilang. Orang yang berbakat bisa dianalogikan seperti orang yang memang terlanjur dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, dengan sedikit usaha mereka akan tetap kaya. Namun, apakah orang yang dilahirkan dari keluarga miskin tidak bisa menjadi orang kaya? Bakat itu seperti uang sebagai modal usaha. Seseorang yang mempunyai modal besar biasanya akan berkembang lebih pesat. Namun, apakah mereka yang bermodal sedikit tidak mampu berkembang? Semua bisa dilakukan dengan ketekunan dan keyakinan. Jangan khawatir bagi Anda yang saat ini belum mengetahui bakat Anda, karena bakat itu bisa dipelajari.
Sedikit terinspirasi dari kata-kata teman saya, yang saya anggap itu benar bahwa kita tidak perlu memusingkan diri dengan “Apa sebenarnya bakat yang kita miliki?” Untuk menciptakan bakat kita harus mengesampingkan pikiran itu. Tanamkan dalam pikiran kita bahwa bakat itu bukan masalah mampu atau tidak mampu, melainkan MAU atau TIDAK MAU. Yang harus kita lakukan untuk menciptakan bakat adalah menumbuhkan kemauan kita untuk bisa. Kemauan itu bagaikan bensin dalam kendaraan bermotor yang menjadi sumber penting untuk bisa menggerakkannya, sedangkan kelebihan dalam diri kita bagaikan mesin kendaraan itu sendiri yang memang sudah diciptakan “satu paket” dengan kendaraan itu. Sebagus, secanggih apapun mesinnya dan semahal apapun mobil itu tidak akan bisa digunakan tanpa adanya bensin. Tumbuhkan kemauan Anda untuk mendalami suatu hal dan asah terus kelebihan Anda untuk menemukan bakat Anda !!! Kita tidak bisa mengatur arah angin, namun kita masih bisa menggerakkan layarnya. SEMANGAT!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)