Depok, 26 Mei 2010
Pelabuhan
Karya Tyas Tatanka
Kenapa tak pernah kau tambatkan
Perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat bukan hanya satu
Pelabuhan tenang yang mau menerima
Kehadiran kapalmu
Kalau dulu memang pernah ada
Satu pelabuhan kecil, yang kemudian
Harus kau lupakan
Mengapa tak kau cari pelabuhan lain?
Yang akan memberikan rasa damai yang lebih?
Seandainya kau mau
Buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu
Pelabuhan mana yang ingin kau singgahi
Untuk selamanya
Hingga pelabuhan itu jadi rumahmu
-----------------------------------------------------------------------------------
Matanya berkaca ketika perempuan itu selesai membaca dan merenungi
isi puisi itu. Dahulu sekali perempuan itu pernah berharap pada seorang
laki-laki yang dia yakin baik dan hanif, ada kilasan-kilasan di hatinya yang mengatakan
bahwa mungkin dialah sosok yang selama ini dia cari, dialah sosok yang tepat
untuk mengisi hari-harinya kelak dalam bingkai pernikahan.Berawal dari sebuah
pertemanan. Berdiskusi tentang segala hal, terutama masalah agama. Perempuan
itu sedang berproses untuk mendalami agama Islam dengan lebih intens. Dan
laki-laki itu, dia paham agama, aktif di organisasi keislaman, dan masih banyak
lagi hal-hal positif yang ada dalam diri laki-laki itu. Sehingga kedekatan itu
membawa semangat perempuan itu untuk menggali ilmu agama dan mempraktekkannya
dalam kesehariannya. Perempuan itu berusaha untuk bisa atau paling tidak mirip
dengannya yang tanpa disadari telah membuatnya kagum. Kedekatan itu berlanjut
menjadi kedekatan yang intens, berbagi cerita curahan hati, saling meminta
saran, saling bertelepon dan bersms, yang akhirnya segala kehadirannya menjadi
sebuah kebutuhan. Kesemuanya itu awalnya mengatasnamakan persahabatan.
Suatu hari salah seorang sahabat bertanya,
“Adakah persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan tanpa melibatkan
hati dan perasaan terlebih bila sudah muncul rasa simpati, kagum dan kebutuhan
untuk saling berinteraksi?” Perempuan itu tertegun dan hanya bisa menjawab
“Entahlah.”
Sampai suatu hari laki-laki itu pergi dan
menghilang. Awalnya masih memberi kabar. Selebihnya hilang begitu saja. Dan
perempuan itu masih berharap dan menunggu untuk suatu yang tak pasti. Karena
memang tidak pernah ada komitmen yang lebih jauh di antara mereka berdua.
Setiap perempuan itu mengenal sosok lelaki lainnya. Selalu dibandingkan dengan
sosok laki-laki sahabatnya itu yang selalu lebih unggul dibanding yang lain dan
perempuan itu tidak pernah lagi membuka hatinya untuk yang lainnya. Sampai
suatu hari....perempuan itu menyadari kesia-siaan yang dibuatnya. Ia berharap
ke sesuatu yang tak pasti dan hanyalah akan membawa luka di hati. Bukankah
banyak hal yang bermanfaat yang bisa dia lakukan untuk mengisi hidupnya kini.
Air matanya jatuh perlahan dalam sujud panjangnya di kegelapan malam. Dia
berjanji untuk tidak mengisi hari-harinya dengan kesia-siaan.
“Lalu, bagaimana dengan sosok laki-laki itu?”
Perlahan saya bertanya padanya. “Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, yang
salah hanyalah persepsi dan harapanyang terlalu berlebihan dari kedekatan itu,
dan proses interaksi yang terlalu dekat sehingga timbul gejolak di hati.
Biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagi saya untuk
lebih berhati-hati dalam menata hati dan melabuhkan hati.”,ujarnya dengan
diplomatis. Hingga saya menemukan perempuan itu menepati janjinya.
Dunia perempuan itu kini adalah dunia penuh
cinta dengan warna-warni jingga, tawa-tawa pelangi, kobaran semangat mengemban
amanah besar dari keluarga yang tertancap kuat di pundaknya, dan seberkas
cahaya meraih cita. Cinta yang dialiri ketulusan tanpa pamrih dari
sahabat-sahabat di sekelilingnya menjadikan perempuan itu produktif dan bisa
menghasilkan karya. Cinta yang tidak pernah kenal surut dari kedua orangtua dan
keluarganya. Dan yang paling hakiki adalah cintanya pada Illahi yang selalu
mengisi relung-relung hati, tempatnya bermunajat di saat suka dan duka.
Adakalanya kita begitu yakin bahwa kehadiran
seseorang akan memberi sejuta makna bagi isi jiwa. Sehingga saat seseorang itu
hilang begitu saja, masih ada satangkup harapan agar dia kembali. Walaupun ada
kata-katanya yang menyakitkan hati, akan ada beribu kata maaf untuknya. Masih
ada beribu penantian meski tak pasti. Masih ada segumpal keyakinan bahwa dialah
jodoh yang dicari sehingga menutup pintu hati dan sanubari untuk yang lain.
sementara dia yang jauh di sana mungkin sama sekali tak pernah memikirkannya.
Haruskah mengorbankan diri demi hal yang sia-sia?
Masih ada sejuta asa, masih ada sejuta makna,
masih ada pijar bintang dan mentari yang akan selalu bercahaya di lubuk jiwa
dengan menjadi bermakna dan bermanfaat untuk sesama. “Lalu bagaimana dengan
cinta yang dulu pernah ada?”, tanya saya suatu hari. Perempuan itu berujar
“Biarkan cinta itu bermuara dengan sendirinya, di saat yang tepat, hanya dari
Allah SWT, di saat dihalalkannya dua manusia untuk berikatan dalam pernikahan
yang barokah”. Semoga saja akan demikian adanya.
Diambil dari sebuah kisah nyata dengan
sedikit perubahan dan rekayasa
sangat inspiratif
BalasHapus