Senin, 24 Februari 2014

Gnothi Seauton

This is public health from whatispublichealth

Pada 15- 16 Februari 2014 saya mengikuti seminar The 3rd Indonesian Public Health Student Summit yang diselenggarakan oleh PAMI (Pergerakan Anggota Muda IAKMI). Seminar ini mengangkat tema besar “Transformasi MDGs-Post MDGs: Tinjauan Komprehensif dari Pemuda Untuk Bangsa”.  Tema yang sangat relevan untuk dibahas akhir-ahir ini, selain itu pembicara yang hadir juga sangat kompeten dan hebat. Salah satu pembicara yang saya nantikan adalah Prof. Ascobat Gani, guru besar FKM UI. Jujur saya sangat mengidolakan beliau semenjak membaca buku beliau yang berjudul “Investasi Manusia Menuju Rakyat Sejahtera”, sayang sekali selama menjadi mahasiswa saya belum pernah berkesempatan diajar langsung oleh beliau. Sosoknya yang selalu energik, keramahan, kesederhanaan dan perjuangan hidup beliau sungguh menginspirasi. Pada kesempatan kali beliau akan membahas mengenai  Manusia sebagai akselerator pencapaian pembangunan kesehatan. Saya sudah tidak sabar mendengarkan beliau menyampaikan materi. Dari sekian banyak plenary yang diselenggarakan di seminar ini, plenary ini lah yang paling saya nantikan. Dan dari sekian banyak materi yang disampaikan oleh semua pembicara, materi dari Prof. Ascobat lah yang paling berkesan. Inilah bedanya ketika seorang Professor hebat mengajar selalu memberikan value di dalamnya tidak hanya mengajarkan teori tetapi juga mberikan inspirasi. You are truly great teacher, prof. Prof. Ascobat membuka ceramahnya dengan sebuah kalimat “Gnothi Seauton” apa arti dari kata itu?. Gnothi Seauton juga berarti Know Yourself atau Kenali dirimu. Sebelum jauh membicarakan apa yang kita bisa lakukan sebagai seorang ahli kesehatan masyarakat, kenali dulu siapa kita? Siapa public health itu? Sebuah pertanyaan yang memang 2-3 bulan ini tengah menghantui saya sebagai fresh graduate.
Jika kita bicara misalnya seorang sarjana hukum, kita langsung bisa membayangkan akan menjadi seperti apa sarjana hukum itu, bisa advokat, hakim dsb. Lalu jika kita bicara seorang dokter lebih jelas lagi, orang yang mengobati orang sakit. Jika kita bicara seorang sarjana ekonomi, juga masih bisa dibayangkan pekerjaannya seperti seorang akuntan, manajer, dsb. Lalu apa sebenarnya profesi kesehatan masyarakat (kesmas itu), orang yang pekerjaannya ngapain sihh kesmas itu? Ketika ditanya seperti itu tentu kita akan sedikit lama membayangkannya, atau mungkin menjawab dengan kata “banyak”, jawaban yang terlalu abstrak. Keabstrakan dan ketidakjelasan profesi kesmas itu mungkin yang membuat beberapa (tidak berani menyebut banyak karena tidak ada data) lulusan kesmas yang akhirnya bekerja di luar lingkup kesmas, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan mereka yang ke luar dari lingkup kesmas.
Tugas profesi kesmas sejatinya ada dua yaitu promotif dan preventif. Namun sekarang kita bertanya kadang dokter atau bidan juga bisa melakukan promosi kesehatan pada pasien, atau masyarakat, lalu apa bedanya? Tentu berbeda, dimana letak perbedaannya? Perbedaannya ada di “through organized community effort”. Seorang ahli kesehatan masyarakat bekerja pada cakupan masyarakat, bagaimana menggerakkan dan memanfaatkan potensi local yang ada di masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat. Maka menjadi penting bagi semua mahasiswa kesehatan masyarakat untuk bisa berkolaborasi, bekerja secara tim, dan bermitra dengan berbagai pihak kepentingan. Untuk menggerakkan masyarakat kita tidak bisa bekerja sendiri, banyak pihak yang harus kita gandeng. Jika ingin menambah anggaran kesehatan misalnya kita harus bisa mengadvokasi bupati, tidak hanya dinas kesehatannya saja. Ada satu cerita yang membuat saya tertegun mendengar cerita Prof. Ascobat. Prof menceritakan tentang seseorang yang beliau beri gelar Profesor meski tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Beliau adalah Adrianus Meruk, kepala desa Nanaeklot NTT. Darinya beliau belajar bahwa “Public Health is local problem, local resources, local community, local wisdom, and local solution.”.
Prof menceritakan kisah kepala desa idolanya dengan penuh semangat. Seorang lelaki tua yang memikirkan bagaimana masyarakat bisa mendapatkan air bersih. Dia gerakkan masyarakat untuk mengumpulkan buah asam di bukit- bukit batu di desanya. Asam diolah menjadi pasta untuk kemudian dijual di pasar dan pelabuhan. Uang yang diperoleh dari penjualan pasta itu dikumpulkan dan akan dibelikan pipa. Masyarakat bergotong-royong memasang dan menyambungkan pipa sepanjang 1,6 kilometer, mulai dari sumber mata air di bukit hingga ke kawasan desa Nanaeklot. Pipa kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Dan sejak saat itu masyarakat tidak kesulitan mendapatkan air bersih. Anak-anak bisa mandi dua kali sehari sehingga penyakit kulit pun berkurang. Selain itu warga bisa bercocok tanam sayuran, jagung, dan pisang dengan memanfaatkan air limbahnya. Dampaknya, asupan gizi keluarga pun membaik. Dan seperti itulah public health menyelesaikan masalah dengan menggerakkan masyarakat, karena penyakit tidak selalu diselesaikan dengan obat, karena penyakit muncul bukan karena di suatu daerah tidak ada dokter, penyakit muncul karena ada yang tidak benar dengan lingkungan, dengan ketidaktahuan masyarakat, dengan perilaku yang tidak sehat yang justru penyelesaiannya ada pada local resources, local community, local wisdom, and local solution seperti yang diajarkan oleh seorang Adrianus Meruk. That’s public health that have job to promote and prevent the diseases by orgizing community effort.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar