This is public health from whatispublichealth |
Pada
15- 16 Februari 2014 saya mengikuti seminar The 3rd Indonesian
Public Health Student Summit yang diselenggarakan oleh PAMI (Pergerakan Anggota
Muda IAKMI). Seminar ini mengangkat tema besar “Transformasi MDGs-Post MDGs:
Tinjauan Komprehensif dari Pemuda Untuk Bangsa”. Tema yang sangat relevan untuk dibahas
akhir-ahir ini, selain itu pembicara yang hadir juga sangat kompeten dan hebat.
Salah satu pembicara yang saya nantikan adalah Prof. Ascobat Gani, guru besar
FKM UI. Jujur saya sangat mengidolakan beliau semenjak membaca buku beliau yang
berjudul “Investasi Manusia Menuju Rakyat Sejahtera”, sayang sekali selama
menjadi mahasiswa saya belum pernah berkesempatan diajar langsung oleh beliau.
Sosoknya yang selalu energik, keramahan, kesederhanaan dan perjuangan hidup
beliau sungguh menginspirasi. Pada kesempatan kali beliau akan membahas
mengenai Manusia sebagai akselerator
pencapaian pembangunan kesehatan. Saya sudah tidak sabar mendengarkan beliau
menyampaikan materi. Dari sekian banyak plenary yang diselenggarakan di seminar
ini, plenary ini lah yang paling saya nantikan. Dan dari sekian banyak materi
yang disampaikan oleh semua pembicara, materi dari Prof. Ascobat lah yang
paling berkesan. Inilah bedanya ketika seorang Professor hebat mengajar selalu
memberikan value di dalamnya tidak hanya mengajarkan teori tetapi juga mberikan
inspirasi. You are truly great teacher,
prof. Prof. Ascobat membuka ceramahnya dengan sebuah kalimat “Gnothi
Seauton” apa arti dari kata itu?. Gnothi Seauton juga berarti Know Yourself atau Kenali dirimu.
Sebelum jauh membicarakan apa yang kita bisa lakukan sebagai seorang ahli
kesehatan masyarakat, kenali dulu siapa kita? Siapa public health itu? Sebuah pertanyaan yang memang 2-3 bulan ini
tengah menghantui saya sebagai fresh
graduate.
Jika
kita bicara misalnya seorang sarjana hukum, kita langsung bisa membayangkan
akan menjadi seperti apa sarjana hukum itu, bisa advokat, hakim dsb. Lalu jika
kita bicara seorang dokter lebih jelas lagi, orang yang mengobati orang sakit.
Jika kita bicara seorang sarjana ekonomi, juga masih bisa dibayangkan
pekerjaannya seperti seorang akuntan, manajer, dsb. Lalu apa sebenarnya profesi
kesehatan masyarakat (kesmas itu), orang yang pekerjaannya ngapain sihh kesmas
itu? Ketika ditanya seperti itu tentu kita akan sedikit lama membayangkannya,
atau mungkin menjawab dengan kata “banyak”, jawaban yang terlalu abstrak. Keabstrakan
dan ketidakjelasan profesi kesmas itu mungkin yang membuat beberapa (tidak
berani menyebut banyak karena tidak ada data) lulusan kesmas yang akhirnya
bekerja di luar lingkup kesmas, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan mereka
yang ke luar dari lingkup kesmas.
Tugas
profesi kesmas sejatinya ada dua yaitu promotif dan preventif. Namun sekarang
kita bertanya kadang dokter atau bidan juga bisa melakukan promosi kesehatan
pada pasien, atau masyarakat, lalu apa bedanya? Tentu berbeda, dimana letak
perbedaannya? Perbedaannya ada di “through
organized community effort”. Seorang ahli kesehatan masyarakat bekerja pada
cakupan masyarakat, bagaimana menggerakkan dan memanfaatkan potensi local yang
ada di masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat. Maka menjadi
penting bagi semua mahasiswa kesehatan masyarakat untuk bisa berkolaborasi,
bekerja secara tim, dan bermitra dengan berbagai pihak kepentingan. Untuk menggerakkan
masyarakat kita tidak bisa bekerja sendiri, banyak pihak yang harus kita gandeng.
Jika ingin menambah anggaran kesehatan misalnya kita harus bisa mengadvokasi
bupati, tidak hanya dinas kesehatannya saja. Ada satu cerita yang membuat saya
tertegun mendengar cerita Prof. Ascobat. Prof menceritakan tentang seseorang
yang beliau beri gelar Profesor meski tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Beliau adalah Adrianus Meruk, kepala desa Nanaeklot NTT. Darinya beliau belajar
bahwa “Public Health is local problem,
local resources, local community, local wisdom, and local solution.”.
Prof
menceritakan kisah kepala desa idolanya dengan penuh semangat. Seorang lelaki
tua yang memikirkan bagaimana masyarakat bisa mendapatkan air bersih. Dia gerakkan
masyarakat untuk mengumpulkan buah asam di bukit- bukit batu di desanya. Asam diolah
menjadi pasta untuk kemudian dijual di pasar dan pelabuhan. Uang yang diperoleh
dari penjualan pasta itu dikumpulkan dan akan dibelikan pipa. Masyarakat bergotong-royong
memasang dan menyambungkan pipa sepanjang 1,6 kilometer, mulai dari sumber mata
air di bukit hingga ke kawasan desa Nanaeklot. Pipa kemudian dialirkan ke
rumah-rumah penduduk. Dan sejak saat itu masyarakat tidak kesulitan mendapatkan
air bersih. Anak-anak bisa mandi dua kali sehari sehingga penyakit kulit pun
berkurang. Selain itu warga bisa bercocok tanam sayuran, jagung, dan pisang dengan
memanfaatkan air limbahnya. Dampaknya, asupan gizi keluarga pun membaik. Dan seperti
itulah public health menyelesaikan
masalah dengan menggerakkan masyarakat, karena penyakit tidak selalu
diselesaikan dengan obat, karena penyakit muncul bukan karena di suatu daerah
tidak ada dokter, penyakit muncul karena ada yang tidak benar dengan
lingkungan, dengan ketidaktahuan masyarakat, dengan perilaku yang tidak sehat
yang justru penyelesaiannya ada pada local
resources, local community, local wisdom, and local solution seperti yang
diajarkan oleh seorang Adrianus Meruk. That’s
public health that have job to promote and prevent the diseases by
orgizing community effort.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar