Rabu, 02 Mei 2012

What If I Had Never Tried It


Aku tersenyum, dan terus tersenyum membayangkan skenario hidupku dimana Tuhan sebagai penulisnya. Tuhan telah membawaku ke kehidupan yang dulu pun aku tak pernah berani untuk memimpikannya. Mimpi untuk kuliah bagiku adalah sebuah barang mewah, karena setiap aku melakukannya, realita hidup seolah membentuk dinding-dinding tinggi yang mengukungku dan akan terus membiarkanku berada di sana. Aku mungkin salah satu dari jutaan orang yang akhirnya bisa menghancurkan tembok besar, dan hidup bebas untuk mengejar mimpi. Tapi, semua itu bukan secara tiba-tiba atau kebetulan teman. Sebagian mungkin akan menyebut ini dengan keberuntungan dari Tuhan, namun aku menyebutnya dengan perencanaan. Ya, perencanaan yang sudah aku susun sejak aku SMP. Perencanaan dimana aku sebagai pelaku dan Tuhan yang membukakan jalan. Perencanaanku dulu memang tak seperti yang aku dapatkan sekarang, karena yang aku dapatkan adalah lebih dari apa yang sudah aku rencanakan teman.
Jika aku bicara masalah kesuksesan, ada dua sosok penting di balik layar skenario kesuksesanku saat ini. Bukan valentino rossi – salah satu idola dan inspiratorku –  sang legenda balap Moto-GP yang berhasil meraih gelar juara dunia ke-sembilan kali. Bukan juga Andrea Hirata, penulis inspiratif dengan karya Tetralogi Laskar Pelangi yang sedang membooming dan menjadi best seller. Melainkan ayah dan ibuku, dua sosok yang berpengaruh besar dalam setiap langkah hidupku.
            Ibuku bukanlah sosok hebat seperti Sri Mulyani, menteri ekonomi Indonesia yang dinobatkan sebagai 10 wanita paling berpengaruh di dunia. Beliau hanyalah wanita desa yang miskin pengetahuan dan hanya berpendidikan sampai SD saja. Meski demikian, beliau adalah orang paling berpengaruh dalam cerita kesuksesan dan perjuanganku. Beliau selalu menguatkanku meski dia sendiri terkadang rapuh, beliau selalu tampak tegar sampai aku menganggap dia lebih tegar dari batu karang terbaik di dunia.
Selain ibuku, ada satu sosok yang sangat berbeda yang berada di balik layar perjuanganku saat ini. Sosok itu tidak lain adalah ayahku. Kata ibuku aku sangat mirip dengan ayahku dalam hal kesukaan dan gaya serta kemampuan bicara. Ayahku sangat pintar dan ahli dalam berkomunikasi dan bergaul. Beliau bisa berbicara dengan semua kalangan baik itu orang yang senasib dengan kami, maupun dengan orang yang secara finansial lebih tinggi dari kami. Beliau sosok yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Maka tak heran, setiap kali ayahku mengambil raportku di sekolah, orangtua temanku mengira ayahku adalah pekerja kantoran, anggota DPR, guru atau pensiunan pegawai negeri sipil, padahal ayahku hanya seorang tambal sepeda angin. Hmmmmm...berbakat juga ayahku dalam menipu orang.(???)
Tuhan menakdirkanku terlahir dari keluarga yang tak cukup kaya, penghasilan orangtua hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sekolah yang memang menjadi prioritas utama ayahku. Dengan berprofesi sebagai tukang tambal ban dan penjahit, mereka membanting tulang sebisa mungkin menyekolahkan kami –kelima anaknya– minimal sampai SMA. Itu mimpi ayahku. Hanya itu teman, bagi kami kuliah adalah sesuatu yang hanya bisa dicapai dan dibeli dengan uang. Itu juga yang selalu aku tanamkan dalam pikiranku hingga aku SMA.
Dulu, ayahku menyekolahkanku di SD yang letaknya tak jauh dari rumah, beliau tak menyekolahkanku di SD dengan reputasi terbaik. SD yang bisa dibilang selalu kalah jika mengikuti perlombaan. Lulus sebagai siswa terbaik kala itu, membuatku mantap untuk melanjutkan ke SMP terbaik di kotaku. Orang-orang seperti kami hanya butuh ‘nekad’ jika ingin maju. Mendaftar di sekolah terbaik tentunya saingannya siswa-siswi terbaik juga. Peluangku diterima di SMP itu tidak terlalu besar sekitar 30% saja karena nilaiku meski terbaik di SD namun, masih kalah bagus dari pendaftar-pendaftar lain. Akupun menjadi satu-satunya siswa dari SD ku yang berhasil diterima di SMP favorit di Kebumen. Bahkan  di desaku hanya 2 orang saja yang diterima di SMP itu.
Sekolah di SMP favorit, tentu biayanya juga favorit alias lebih mahal dari biaya di sekolah-sekolah lain. Namun, ayahku tak pernah mempersoalkan biaya meskipun beliau juga harus menanggung biaya keempat kakakku yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Seperti yang ayah selalu katakan “kita hanya butuh nekad”. Benarlah, Tuhan memberikan kemudahan pada kami, aku mendapat bantuan dari sekolah sehingga kami hanya perlu membayarkan sepertiganya saja. Hmmmm... begitulah cara Tuhan menunjukkan kemurahan hatinya.
Aku memang tipe anak yang berpikir panjang, bukan hanya untuk esok atau tahun depan. Kala itu aku bahkan sudah berpikir untuk bagaimana caranya aku bisa kuliah, padahal lulus SMP saja belum. Penghasilan ayah ibuku rasanya tak akan mampu untuk membiayaiku sampai kuliah. Mulailah aku menabung di salah satu bank, yang uangnya aku dapatkan dari hasil mengumpulkan uang saku. Kemudian tibalah saatnya aku lulus dari SMP dan harus melanjutkan ke SMA. Kembali lagi aku sampaikan bahwa aku pasti akan memikirkan banyak hal untuk kehidupanku kelak. Termasuk menyangkut dimana aku harus melanjutkan sekolah. Kala itu aku sangat bingung memilih antara melanjutkan ke SMA atau SMK. Tentu dengan konsekuensi masing-masing. Secara logika jika aku memilih masuk SMA konsekuensinya aku harus kuliah bila ingin mendapat masa depan yang cerah tapi bagaimana dengan biaya kuliah kelak? Lain halnya jika aku masuk SMK aku bisa langsung bekerja tanpa harus kuliah atau bekerja dulu baru kuliah.  Nilai ujian SMPku memang bisa dikatakan sangat memuaskan, bahkan berhasil menjadi nilai sepuluh besar terbaik di SMP terbaik. Dengan modal nilai itu aku bisa mendaftar ke sekolah manapun, karena memang nilaiku memenuhi syarat untuk semua sekolah SMA di kabupaten Kebumen termasuk SMA dan SMK terbaik di Kebumen. Bahkan ada salah satu guru  SMK terbaik di Kebumen yang menawariku untuk masuk ke sekolahnya dan mendapat wild card alias diterima tanpa tes. Mendengar tawaran itu, ayahku tidak mudah tergiur begitu saja. Ayahku juga mencari informasi tentang sekolah-sekolah SMA. Tibalah sebuah pencerahan datang. Lewat seorang guru yang tidak lain adalah teman ayahku. Beliau mengatakan bahwa beliau mempunyai kenalan guru BK di SMA Negeri 1 Kebumen, dan beliau tidak keberatan bila harus me-loby agar mendapat keringanan sekolah. Sepulangnya di rumah ayahku langsung mengatakan “Ya, kamu sekolah di SMA 1 Kebumen saja. Bapak sudah mempertimbangkannya”. Kata –kata itu membuatku yakin untuk melanjutkan ke SMA N 1 Kebumen. Aku sangat bersyukur karena keputusanku memang sangat benar.
Kemudahan mengenai biaya sekolah waktu SMP pun terjadi ketika aku SMA. Jadi, bagi kami biaya bukanlah permasalahan. Sewaktu aku kelas X, salah satu kakakku diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Secara tidak langsung, itu sangat berpengaruh terhadap keuangan keluarga kami. Kesempatanku untuk bisa kuliah pun semakin besar. Aku hanya butuh untuk fokus belajar karena tidak perlu memikirkan masalah uang. Namun, sesuatu hal tidak diinginkan terjadi. Kakakku diPHK sewaktu aku mau naik kelas XII. Pukulan amat besar, karena aku merasa mimpiku untuk kuliah hanya akan kembali menjadi angan-angan. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi semangat dan pikiranku. Hingga aku berpikir bahwa aku mungkin hanya bisa kuliah di perguruan tinggi milik pemerintah seperti STAN, STIS, atau AMG. Sudahlah aku memang harus realistis. Sejak itulah aku hanya berani menargetkan untuk kuliah di sekolah kedinasan setelah lulus SMA nanti. Memang benar perkataan Andrea Hirata dalam bukunya Laskar Pelangi bahwa “Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang”. Tapi aku selalu mengingat perkataan ayahku sejak SMP “kita hanya butuh nekad”. Nekad bagiku berarti juga semangat, meski harapan semakin kecil tapi kita masih punya semangat yang menggerakkan kita. Menjelang naik ke kelas XII temanku sudah ribut membicarakan masa depan, kemana mereka mau kuliah, jurusan apa yang mau dipilih. Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyum semangat bahwa aku akan kuliah di STAN. Saat itu aku seolah hanya punya satu jalan yaitu stan.
Skenario Tuhan memang indah, Tuhan membukakanku pintu pencerahan dengan mendatangkan mahasiswa-mahasiswa UI asal Kabupaten Kebumen yang menyebut diri mereka PERHIMAK (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen). Mereka mungkin tak pernah menyangka bahwa kehadiran merekalah yang merubah semuanya. Membuatku kembali berani untuk memperjuangkan cita-cita. Aku merasakan bahwa untuk anak-anak daerah seperti kami, informasi seperti barang langka yang amat mahal. Dan mereka –kakak-kakakku dari Perhimak UI– yang mengirimkan barang langka itu kepada kami yang miskin informasi. Aku menemukan kembali semangatku setelah mereka bilang bahwa UI bukan kampus para pejabat dan orang berduit saja, karena pembiayaan di UI menggunakan sistem berkeadilan yang berbeda dari kampus-kampus lain. Jika di universitas lain semua mahasiswa dikenakan biaya yang sama tanpa peduli mereka mampu atau tidak, tapi di UI biaya akan dikenakan sesuai dengan kemampuan orangtua (penanggung biaya). Beasiswa-beasiswa yang ditawarkan yang katanya sangat banyak, semakin menambah minatku untuk kuliah di UI. Ku lantangkan dalam hati. “Welcome, gerbang cita-cita sudah terbuka untuk orang-orang seperti kami”. Tinggal bagaimana kita memperoleh tiket untuk masuk ke dalamnya. Dan aku akan merebut satu tiket masuk!!!
Informasi mengenai jalur masuk UI terus aku cari dan Well, The first struggle is SIMAK-UI. Aku belajar mati-matian untuk mendapatkan tiket masuk UI. Les fisika sampai larut malam, siang malam belajar, buku-buku yang menggunung. Usaha telah aku lakukan, namun hasil Tuhanlah yang menentukan. Hmmmm.... aku masih belum berhasil mengantongi satu tiket masuk UI ternyata, aku gagal di SIMAK teman. But don’t worry masih ada jalur lain yaitu UMB (Ujian Masuk Bersama). Evalusi hasil SIMAK pun aku lakukan. Mulai dari sistem belajar yang masih kurang efektif, jam belajar yang memang sudah lama tapi masih dirasa kurang, penguasaan materi yang belum matang. Usaha SIMAK sudah cukup bagus, namun di UMB harus lebih giat lagi. Bahkan aku sampai rela hanya tidur 4 jam perhari hanya untuk mendapatkan tiket masuk UI. Aku hanya yakin bahwa hanya usaha dan doa yang mampu mengubah takdir. Tuhan mengabulkan permohonanku, aku diterima di UI. Kabar diterimanya aku di UI langsung menjadi buah bibir di desaku, pasalnya memang akulah orang pertama di desa yang menjadi mahasiswa UI. Apalagi jika melihat keluarga kami, orang-orang semakin tidak percaya kalau aku bisa kuliah di UI yang notabene merupakan salah satu Universitas favorit di Indonesia. Namun, inilah skenario Tuhan, apapun yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin bagi-Nya. Dan ternyata bayangan-bayanganku dulu mengenai kuliah tak semuanya benar. Disini kuliah tak butuh banyak uang kok teman, disini kuliah hanya butuh usaha. Jika kamu kesulitan uang, kamu bisa mencari beasiswa atau bekerja part-time. Dan yang pasti kamu tidak akan pernah dikeluarkan hanya karena masalah biaya.
Aku sudah meraih mimpi yang bahkan dari SMP sudah aku inginkan. Tuhan menjawabnya dengan sangat indah, bahkan dia tak sekedar menjawab tapi memberikannya lebih dari apa yang aku minta. “Tuhan tahu tapi menunggu” (Leo Tolstoy). Ya menunggu usaha kita untuk mengubahnya. Kita tak akan pernah tahu seberapa besar dan seberapa hebat diri kita, sebelum kita mencobanya (What If I Had Never Tried It). Kita tidak mampu mengubah arah angin, tapi kita masih bisa menggerakkan layarnya kok teman. Semangat ya pejuang mimpi!!!

                                                                                                Depok, 13 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar