Aku tersenyum, dan terus tersenyum
membayangkan skenario hidupku dimana Tuhan sebagai penulisnya. Tuhan telah
membawaku ke kehidupan yang dulu pun aku tak pernah berani untuk memimpikannya.
Mimpi untuk kuliah bagiku adalah sebuah barang mewah, karena setiap aku
melakukannya, realita hidup seolah membentuk dinding-dinding tinggi yang
mengukungku dan akan terus membiarkanku berada di sana. Aku mungkin salah satu
dari jutaan orang yang akhirnya bisa menghancurkan tembok besar, dan hidup
bebas untuk mengejar mimpi. Tapi, semua itu bukan secara tiba-tiba atau
kebetulan teman. Sebagian mungkin akan menyebut ini dengan keberuntungan dari
Tuhan, namun aku menyebutnya dengan perencanaan. Ya, perencanaan yang sudah aku
susun sejak aku SMP. Perencanaan dimana aku sebagai pelaku dan Tuhan yang
membukakan jalan. Perencanaanku dulu memang tak seperti yang aku dapatkan
sekarang, karena yang aku dapatkan adalah lebih dari apa yang sudah aku
rencanakan teman.
Jika aku bicara masalah kesuksesan, ada dua
sosok penting di balik layar skenario kesuksesanku saat ini. Bukan valentino
rossi – salah satu idola dan inspiratorku – sang legenda balap Moto-GP
yang berhasil meraih gelar juara dunia ke-sembilan kali. Bukan juga Andrea
Hirata, penulis inspiratif dengan karya Tetralogi Laskar Pelangi yang sedang
membooming dan menjadi best
seller. Melainkan ayah dan ibuku, dua sosok yang berpengaruh besar dalam
setiap langkah hidupku.
Ibuku bukanlah sosok hebat seperti Sri Mulyani, menteri ekonomi Indonesia yang
dinobatkan sebagai 10 wanita paling berpengaruh di dunia. Beliau hanyalah
wanita desa yang miskin pengetahuan dan hanya berpendidikan sampai SD saja.
Meski demikian, beliau adalah orang paling berpengaruh dalam cerita kesuksesan
dan perjuanganku. Beliau selalu menguatkanku meski dia sendiri terkadang rapuh,
beliau selalu tampak tegar sampai aku menganggap dia lebih tegar dari batu
karang terbaik di dunia.
Selain ibuku, ada satu sosok yang sangat
berbeda yang berada di balik layar perjuanganku saat ini. Sosok itu tidak lain
adalah ayahku. Kata ibuku aku sangat mirip dengan ayahku dalam hal kesukaan dan
gaya serta kemampuan bicara. Ayahku sangat pintar dan ahli dalam berkomunikasi
dan bergaul. Beliau bisa berbicara dengan semua kalangan baik itu orang yang
senasib dengan kami, maupun dengan orang yang secara finansial lebih tinggi
dari kami. Beliau sosok yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Maka tak heran, setiap kali ayahku mengambil raportku di sekolah, orangtua
temanku mengira ayahku adalah pekerja kantoran, anggota DPR, guru atau
pensiunan pegawai negeri sipil, padahal ayahku hanya seorang tambal sepeda
angin. Hmmmmm...berbakat juga ayahku dalam menipu orang.(???)
Tuhan menakdirkanku terlahir dari keluarga
yang tak cukup kaya, penghasilan orangtua hanya cukup untuk makan sehari-hari
dan sekolah yang memang menjadi prioritas utama ayahku. Dengan berprofesi
sebagai tukang tambal ban dan penjahit, mereka membanting tulang sebisa mungkin
menyekolahkan kami –kelima
anaknya– minimal sampai SMA. Itu
mimpi ayahku. Hanya itu teman, bagi kami kuliah adalah sesuatu yang hanya bisa
dicapai dan dibeli dengan uang. Itu juga yang selalu aku tanamkan dalam
pikiranku hingga aku SMA.
Dulu, ayahku menyekolahkanku di SD yang
letaknya tak jauh dari rumah, beliau tak menyekolahkanku di SD dengan reputasi
terbaik. SD yang bisa dibilang selalu kalah jika mengikuti perlombaan. Lulus
sebagai siswa terbaik kala itu, membuatku mantap untuk melanjutkan ke SMP
terbaik di kotaku. Orang-orang seperti kami hanya butuh ‘nekad’ jika ingin
maju. Mendaftar di sekolah
terbaik tentunya saingannya siswa-siswi terbaik juga. Peluangku diterima di SMP
itu tidak terlalu besar sekitar 30% saja karena nilaiku meski terbaik di SD
namun, masih kalah bagus dari pendaftar-pendaftar lain. Akupun menjadi
satu-satunya siswa dari SD ku yang berhasil diterima di SMP favorit di Kebumen.
Bahkan di desaku hanya 2 orang saja yang diterima di SMP itu.
Sekolah di SMP favorit, tentu biayanya juga
favorit alias lebih mahal dari biaya di sekolah-sekolah lain. Namun, ayahku tak
pernah mempersoalkan biaya meskipun beliau juga harus menanggung biaya keempat
kakakku yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Seperti yang ayah selalu katakan
“kita hanya butuh nekad”. Benarlah, Tuhan memberikan kemudahan pada kami, aku
mendapat bantuan dari sekolah sehingga kami hanya perlu membayarkan
sepertiganya saja. Hmmmm... begitulah cara Tuhan menunjukkan kemurahan hatinya.
Aku memang tipe anak yang berpikir panjang,
bukan hanya untuk esok atau tahun depan. Kala itu aku bahkan sudah berpikir
untuk bagaimana caranya aku bisa kuliah, padahal lulus SMP saja belum.
Penghasilan ayah ibuku rasanya tak akan mampu untuk membiayaiku sampai kuliah.
Mulailah aku menabung di salah satu bank, yang uangnya aku dapatkan dari hasil
mengumpulkan uang saku. Kemudian tibalah saatnya aku lulus dari SMP dan harus
melanjutkan ke SMA. Kembali lagi aku sampaikan bahwa aku pasti akan memikirkan
banyak hal untuk kehidupanku kelak. Termasuk menyangkut dimana aku harus
melanjutkan sekolah. Kala itu aku sangat bingung memilih antara melanjutkan ke
SMA atau SMK. Tentu dengan konsekuensi masing-masing. Secara logika jika aku memilih masuk
SMA konsekuensinya aku harus kuliah bila ingin mendapat masa depan yang cerah
tapi bagaimana dengan biaya kuliah kelak? Lain
halnya jika aku masuk SMK aku bisa langsung bekerja tanpa harus kuliah atau bekerja dulu baru kuliah. Nilai ujian SMPku memang bisa dikatakan sangat
memuaskan, bahkan berhasil menjadi nilai sepuluh besar terbaik di SMP terbaik.
Dengan modal nilai itu aku bisa mendaftar ke sekolah manapun, karena memang
nilaiku memenuhi syarat untuk semua sekolah SMA di kabupaten Kebumen termasuk
SMA dan SMK terbaik di Kebumen. Bahkan ada salah satu guru SMK terbaik di Kebumen yang menawariku untuk masuk ke
sekolahnya dan mendapat wild
card alias diterima tanpa tes. Mendengar tawaran itu,
ayahku tidak mudah tergiur begitu saja. Ayahku juga mencari informasi tentang
sekolah-sekolah SMA. Tibalah sebuah pencerahan datang. Lewat seorang guru yang
tidak lain adalah teman ayahku. Beliau mengatakan bahwa beliau mempunyai
kenalan guru BK di SMA Negeri 1 Kebumen, dan beliau tidak keberatan bila harus
me-loby agar mendapat keringanan sekolah. Sepulangnya di rumah ayahku langsung
mengatakan “Ya, kamu sekolah di SMA 1 Kebumen saja. Bapak sudah mempertimbangkannya”.
Kata –kata itu membuatku yakin untuk melanjutkan ke SMA N 1 Kebumen. Aku sangat
bersyukur karena keputusanku
memang sangat benar.
Kemudahan mengenai biaya sekolah waktu SMP
pun terjadi ketika aku SMA. Jadi, bagi kami biaya bukanlah permasalahan. Sewaktu
aku kelas X, salah satu kakakku diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan
swasta di Jakarta. Secara tidak langsung, itu sangat berpengaruh terhadap
keuangan keluarga kami. Kesempatanku untuk bisa kuliah pun semakin besar. Aku
hanya butuh untuk fokus belajar karena tidak perlu memikirkan masalah uang.
Namun, sesuatu hal tidak diinginkan terjadi. Kakakku diPHK sewaktu aku mau naik
kelas XII. Pukulan amat besar, karena aku merasa mimpiku untuk kuliah hanya
akan kembali menjadi angan-angan. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi semangat
dan pikiranku. Hingga aku berpikir bahwa aku mungkin hanya bisa kuliah di
perguruan tinggi milik pemerintah seperti STAN, STIS, atau AMG. Sudahlah aku
memang harus realistis. Sejak itulah aku hanya berani menargetkan untuk kuliah
di sekolah kedinasan setelah lulus SMA nanti. Memang benar perkataan Andrea
Hirata dalam bukunya Laskar Pelangi bahwa “Realistis tak lain adalah pedal
rem yang sering menghambat harapan orang”. Tapi aku selalu mengingat
perkataan ayahku sejak SMP “kita hanya butuh nekad”. Nekad bagiku
berarti juga semangat, meski harapan semakin kecil tapi kita masih punya
semangat yang menggerakkan kita. Menjelang naik ke kelas XII temanku sudah
ribut membicarakan masa depan, kemana mereka mau kuliah, jurusan apa yang mau
dipilih. Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyum semangat bahwa aku akan
kuliah di STAN. Saat itu aku seolah hanya punya satu jalan yaitu stan.
Skenario Tuhan memang indah, Tuhan
membukakanku pintu pencerahan dengan mendatangkan mahasiswa-mahasiswa UI asal
Kabupaten Kebumen yang menyebut diri mereka PERHIMAK (Perhimpunan Mahasiswa
Kebumen). Mereka mungkin tak pernah menyangka bahwa kehadiran merekalah yang
merubah semuanya. Membuatku kembali berani untuk memperjuangkan cita-cita. Aku
merasakan bahwa untuk anak-anak daerah seperti kami, informasi seperti barang
langka yang amat mahal. Dan mereka –kakak-kakakku dari Perhimak UI– yang
mengirimkan barang langka itu kepada kami yang miskin informasi. Aku menemukan
kembali semangatku setelah mereka bilang bahwa UI bukan kampus para pejabat dan
orang berduit saja, karena pembiayaan di UI menggunakan sistem berkeadilan yang
berbeda dari kampus-kampus lain. Jika di universitas lain semua mahasiswa
dikenakan biaya yang sama tanpa peduli mereka mampu atau tidak, tapi di UI
biaya akan dikenakan sesuai dengan kemampuan orangtua (penanggung biaya).
Beasiswa-beasiswa yang ditawarkan yang katanya sangat banyak, semakin menambah
minatku untuk kuliah di UI. Ku lantangkan dalam hati. “Welcome, gerbang
cita-cita sudah terbuka untuk orang-orang seperti kami”. Tinggal bagaimana kita
memperoleh tiket untuk masuk ke dalamnya. Dan aku akan merebut satu tiket
masuk!!!
Informasi mengenai jalur masuk UI terus aku
cari dan Well, The first struggle is SIMAK-UI. Aku
belajar mati-matian untuk mendapatkan tiket masuk UI. Les fisika sampai larut
malam, siang malam belajar, buku-buku yang menggunung. Usaha telah aku lakukan,
namun hasil Tuhanlah yang menentukan. Hmmmm.... aku masih belum berhasil
mengantongi satu tiket masuk UI ternyata, aku gagal di SIMAK teman. But don’t worry masih ada jalur lain yaitu UMB (Ujian
Masuk Bersama). Evalusi hasil SIMAK pun aku lakukan. Mulai dari sistem belajar
yang masih kurang efektif, jam belajar yang memang sudah lama tapi masih dirasa
kurang, penguasaan materi yang belum matang. Usaha SIMAK sudah cukup bagus,
namun di UMB harus lebih giat lagi. Bahkan aku sampai rela hanya tidur 4 jam
perhari hanya untuk mendapatkan tiket masuk UI. Aku hanya yakin bahwa hanya
usaha dan doa yang mampu mengubah takdir. Tuhan mengabulkan permohonanku, aku
diterima di UI. Kabar diterimanya aku di UI langsung menjadi buah bibir di
desaku, pasalnya memang akulah orang pertama di desa yang menjadi mahasiswa UI.
Apalagi jika melihat keluarga kami, orang-orang semakin tidak percaya kalau aku
bisa kuliah di UI yang notabene merupakan salah satu Universitas favorit di
Indonesia. Namun, inilah skenario Tuhan, apapun yang tidak mungkin menjadi
sangat mungkin bagi-Nya. Dan ternyata bayangan-bayanganku dulu mengenai kuliah
tak semuanya benar. Disini kuliah tak butuh banyak uang kok teman, disini
kuliah hanya butuh usaha. Jika kamu kesulitan uang, kamu bisa mencari beasiswa
atau bekerja part-time. Dan yang pasti kamu tidak akan pernah
dikeluarkan hanya karena masalah biaya.
Aku sudah meraih mimpi yang bahkan dari SMP
sudah aku inginkan. Tuhan menjawabnya dengan sangat indah, bahkan dia tak
sekedar menjawab tapi memberikannya lebih dari apa yang aku minta. “Tuhan
tahu tapi menunggu” (Leo Tolstoy). Ya menunggu usaha kita untuk
mengubahnya. Kita tak akan pernah tahu seberapa besar dan seberapa hebat diri
kita, sebelum kita mencobanya (What
If I Had Never Tried It). Kita
tidak mampu mengubah arah angin, tapi kita masih bisa menggerakkan layarnya kok
teman. Semangat ya pejuang mimpi!!!
Depok, 13 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar