Siti Masitoh, Ahmad Junaedi, Dewi
Maharani Putri, dan Ayu Ratih Chaerunnisa
Tahun 2011 akan segera berakhir menyongsong tahun 2012. Ini berarti hasil dari MDGs akan segera dipublikasikan ke seluruh dunia di tahun 2015 artinya hanya tersisa waktu 4 tahun lagi. Dimana kah pencapaian Indonesia? Salah satu indikator yang dilihat dalam MDGs 2015 adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut sensus penduduk 2010, AKB di Indonesia saat ini mencapai 29 per kelahiran hidup. Itu berarti dari 1000 kelahiran hidup terdapat 29 kematian bayi. Angka ini sudah lebih baik dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu dimana AKB Indonesia masih mencapai 51,5. Akan tetapi, AKB Indonesia saat ini masih jauh dari target MDG’s yaitu sebesar 19. Sanggupkah Indonesia menurunkan 10 poin AKB dalam kurun waktu 4 tahun?
Dalam analisis AKB ini kami menggunakan sumber data Sensus
Penduduk (SP) 2000 dan 2010. Namun, perlu kita ketahui ada beberapa kondisi
yang membedakan hasil SP 2000 dan 2010. Di tahun 2000 jumlah provinsi hanya 30
provinsi sedangkan di tahun 2010 setelah mengalami pemekaran jumlah provinsinya
menjadi 33 provinsi. Hal ini menyebabkan ada beberapa provinsi yang tidak
memiliki data angka kematian bayi per provinsi di tahun 2000.
Secara umum, AKB di Indonesia sudah berada di bawah 30. Akan
tetapi, apabila kita lihat menurut wilayah, terjadi gap yang cukup tinggi
antara wilayah Indonesia Barat, Indonesia Timur, dan Indonesia Tengah seperti
yang tercantum pada tabel dibawah.
Tabel. Angka Kematian Bayi Berdasarkan Wilayah Bagian Indonesia Hasil SP 2000 dan SP 2010.
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa AKB tertinggi berada di wilayah Indonesia Tengah. Dari data ini saja sudah terlihat terjadinya kesenjangan antara wilayah di Indonesia, dimana seperti yang kita ketahui wilayah Indonesia Barat merupakan pusat pemerintahan dan industri di Indonesia sehingga kemungkinan akses pelayanan kesehatan di sana lebih mudah dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya. Jika kita telaah lagi ternyata wilayah Indonesia Tengah, telah menyumbang AKB tertinggi baik ketika tahun 2000 maupun tahun 2010. Pencapaian AKB di Indonesia Tengah per provinsi dapat dilihat di grafik berikut.
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa AKB tertinggi berada di wilayah Indonesia Tengah. Dari data ini saja sudah terlihat terjadinya kesenjangan antara wilayah di Indonesia, dimana seperti yang kita ketahui wilayah Indonesia Barat merupakan pusat pemerintahan dan industri di Indonesia sehingga kemungkinan akses pelayanan kesehatan di sana lebih mudah dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya. Jika kita telaah lagi ternyata wilayah Indonesia Tengah, telah menyumbang AKB tertinggi baik ketika tahun 2000 maupun tahun 2010. Pencapaian AKB di Indonesia Tengah per provinsi dapat dilihat di grafik berikut.
Grafik. Trend AKB di Wilayah
Indonesia Tengah Hasil SP 2000 dan SP 2010
Pada tahun 2000 posisi teratas AKB
Nasional disinggahi oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan angka 89,5 per
1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 NTB mengalami penurunan AKB menjadi 48 per 1000 kelahiran
hidup atau turun sebesar 41,5 poin dan posisi tersebut digantikan oleh Provinsi
Gorontalo dengan angka sebesar 56 per 1000 kelahiran hidup, Padahal, pada
sepuluh tahun sebelumnya Gorontalo menempati posisi 26 dari 30 provinsi dengan
AKB 58 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun AKB di Gorontalo mengalami penurunan
tetapi penurunannya sangat kecil yaitu hanya 1,5 poin saja dalam kurun waktu 10
tahun. Seperti kita ketahui kedua provinsi tersebut berada pada
wilayah Indonesia yang sama yaitu wilayah Indonesia bagian tengah. Adakah yang
membedakan usaha untuk menurunkan AKB di antara dua provinsi tersebut sehingga
kedua provinsi tersebut ‘tertukar’ dalam posisi AKB tertinggi nasional?
Ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan menjadi hal yang sangat
berhubungan dengan AKB. Untuk provinsi NTB jumlah perawat dan bidan di tahun
2009 sebesar 4.455
namun berbeda jauh sekali dengan provinsi Gorontalo yang hanya memiliki perawat
dan bidan sebanyak 1613. Jumlah Rumah Sakit di NTB tahun 2009 sebanyak 15 Rumah
Sakit tidak jauh berbeda dengan Provinsi Gorontalo di tahun 2006 yaitu sebesar
12 Rumah sakit. Perbedaan terbesar yaitu fasilitas puskesmas, di Gorontalo data
tahun 2006 jumlah puskesmas hanya 251 berbeda sangat jauh dengan NTB di tahun
2009 yang sudah mencapai 1150 puskesmas.
Tidak hanya ketersediaan fasilitas kesehatan yang menjadi
penyebab AKB, namun juga aksesibilitas masyarakat ke pelayanan kesehatan. Di
provinsi NTB faktor geografis dan ketersediaan sarana transportasi masih
menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Namun jika dilihat
dari ketersedian sarana kesehatan seperti puskesmas yang tersedia di setiap
kecamatan, semestinya tidak ada lagi keluhahan terhadap akses masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Belum lagi ditunjang dengan keberaadaan
polindes desa yang semakin mendekatkan masyarakat dengan petugas kesehatan. Sedangkan
di Gorontalo untuk mengatasi aksesibilitas ke pelayanan kesehatan didirikan
rumah tunggu di titik rawan. Rumah tunggu ini memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat didaerah yang sulit dijangkau dengan alat transportasi dan
dengan adanya rumah tunggu ini ditekankan pada pemantauan intensif oleh dokter
dan bidan terhadap ibu-ibu hamil sehingga bisa mendeteksi kemungkinan risiko
kehamilan dan melahirkan yang nantinya mencegah kematian ibu dan bayi.
Ada data lain dari hasil Susenas
2004 yang mencengangkan bahwa di Provinsi Gorontalo, ada sebesar 45,13 persen
balita yang proses kelahirannya ditangani oleh tenaga medis (dokter, bidan dan
tenaga medis lain). Penanganan kelahiran oleh tenaga dukun justru terbanyak
yaitu sekitar 52,12 persen dan sisanya ditolong famili/keluarga/lainnya.
Padahal, berdasarkan data profil kesehatan Nusa Tenggara Barat di tahun yang
sama, terdapat 82,21 persen balita proses kelahirannya ditangani oleh tenaga
medis. Perbedaan yang cukup besar ini mungkin menjadi salah satu jawaban
mengapa penurunan AKB di Nusa Tenggara Barat lebih besar dibandingkan Provinsi
Gorontalo.
Dalam hal kebijakan sebagai upaya percepatan penurunan AKI dan AKB, Provinsi NTB melaksanakan program AKINO (Angka Kematian Ibu NOL). AKINO adalah daerah yang memiliki
Jumlah Kematian Ibu Nol, yang dipantau secara terus menerus mulai dari tingkat
RT, RW,Dasa Wisma dan Desa/Kelurahan yang dilaporkan melalui sistem pelaporan
secara berjenjang. Strategi
ini sangat berpengaruh terhadap penurunan AKB di Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan masih ada perbedaan
AKB yang cukup besar antara wilayah Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur. Waktu
pencapaian MDGs tidak lama lagi, hanya 4 tahun. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya-upaya percepatan untuk menurunkan AKB yang salah satunya adalah
dengan penekanan pada pentingnya peran pemerintah
daerah dalam revitalisasi posyandu guna meningkatkan status gizi anak serta
kesehatan ibu dan anak.